Iqbal Hasanuddin

Kritik Nalar Islam atau Kritik Nalar Arab?

Posted by iqbalhasanuddin pada Desember 12, 2008

Dalam berbagai karya yang ditulisnya, Mohammed Abid Al-Jabiri dan Mohammed Arkoun berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk melakukan kritik tradisi dengan menggunakan pendekatan—apa yang olehnya disebut sebagai—“pembacaan kontemporer” atas tradisi. Hanya saja, upaya kritik tradisi yang dilakukan al-Jabiri dan Arkoun tidak sama dengan Hasan Hanafi yang kental dengan nuansa teologi atau Abu Zayd yang banyak diwarnai oleh kepentingan untuk merumuskan metode hermeneutika al-Quran. Di sini, kritik tradisi yang dilakukan oleh al-Jabiri dan Arkoun cenderung menggunakan pendekatan kritik nalar.[i]

Menurut al-Jabiri dan Arkoun, kritik atas tradisi tidak diarahkan semata-mata pada produk-produk pemikiran seperti persoalan ketuhanan, wahyu, aliran-aliran kalam dan sebagainya. Bagi mereka berdua, kritik tradisi yang paling utama harus diarahkan pada masalah yang paling mendasar, yakni “kritik epistemologis” atau “kritik nalar.” Istilah “nalar” di sini sengaja dibedakan dari “pemikiran” sehingga, baik al-Jabiri maupun Arkoun, menyebut proyek kritik tradisinya dengan Naqd al-‘Aql (Kritik Akal atau Nalar) bukan Naqd al-Fikr (Kritik Pemikiran).[ii]

Bagi al-Jabiri, misalnya, istilah “pemikiran” lebih mengacu kepada muatan atau isi pemikiran, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran yang dengannya suatu masyarakat mengungkapkan ideal-ideal etik, doktrin-doktrin madzhab serta ambisi sosial politiknya. Dengan kata lain, “pemikiran” di sini lebih semakna dengan ideologi. Atau, kalau memakai kata-kata al-Jabiri sendiri, kata al-fikr atau pemikiran berarti kumpulan atau hasil pemikiran itu sendiri (al-fikr biwasfihi majmu’ al-afkar dzatuha) Sementara itu, istilah al-‘aql (akal atau nalar) lebih dimaksudkan sebagai seperangkat aturan atau prinsip yang menentukan cara berpikir suatu masyarakat. Dalam konteks ini lah, al-Jabiri mendefinisikan nalar atau akal (al-‘aql) sebagai “alat untuk memproduksi pengetahuan” (al-‘adat li al-intaz al-ma’rifiyyah).[iii]

Hanya saja, istilah naqd al-‘aql yang dipakai oleh al-Jabiri maupun Arkoun lebih tepat diterjemakan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kritik nalar” daripada “kritik akal.” Sebab, konsep naqd al-‘aql yang al-Jabiri dan Arkoun gunakan tidak sama dengan konsep “kritik akal”-nya Immanuel Kant misalnya. Sebab, konsep “kritik akal” yang dilakukan oleh Kant lebih diarahkan kepada akal atau rasio yang ada dalam setiap diri manusia beserta segenap kemampuan-kemampuannya.[iv] Sementara dalam pengertian al-Jabiri dan Arkoun, “naqd al-‘aql” lebih diarahkan pada cara berpikir kolektif suatu masyarakat yang aturan dan prinsipnya ditentukan secara sosial. Di sini, istilah “kritik nalar” bisa dipakai untuk menamai proyek Arkoun dan al-Jabiri agar bisa dibedakan dari proyek “kritik akal”-nya Kant. Dalam hal ini, istilah “nalar” al-Jabiri dan Arkoun lebih sepadan dengan konsep “episteme”-nya Michel Foucault.[v]

Sungguhpun demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Arkoun dengan al-Jabiri dalam merumuskan proyek kritik nalarnya masing-masing. Kalau Arkoun menamakan proyeknya dengan sebutan “kritik nalar Islam,” maka al-Jabiri menggunakan istilah “kritik nalar Arab.” Dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, al-Jabiri memberikan penjelasan tentang konsep nalar Arab dimaksud sebagai berikut:

…apa yang kami maksud dengan “nalar Arab” adalah la raison constitutee (‘aql mukawwan), yakni himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang diberikan oleh budaya Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang ditentukan dan dipaksakan [secara tidak sadar] sebagai episteme oleh budaya Arab.[vi]

Dalam definisinya itu, al-Jabiri melihat bahwa nalar Arab dan produk-produk pemikiran yang dihasilkannya sangat terkait dengan pergualatan dialektis dalam suatu lingkungan sosio-kultural tertentu sehingga tidak bisa dipungkiri pentingnya pengaruh dan peran lingkungan tersebut dalam membentuk karakteristik pemikiran Arab. Dengan demikian, pemikiran Arab bersifat Arab bukan semata karena merupakan konsep, pandangan dan teori yang mencerminkan atau mengekspresikan realitas Arab dengan suatu bentuk artikulasi tertentu, melainkan juga karena ia dibentuk oleh sejumlah realitas Arab itu sendiri dengan segala kekhasan yang ada di dalamnya.[vii]

Menurut al-Jabiri, saat ini terdapat kaidah umum yang membatasi setiap pemikir, yakni kaidah “entitas kultural.” Dalam kaidah ini, seorang pemikir tidak tergolong ke dalam suatu kebudayaan tertentu kecuali jika ia “berpikir dalam kebudayaan tersebut.” Apa yang dimaksud dengan “berpikir dalam suatu kebudayaan tertentu” bukanlah berpikir tentang masalah-masalah yang ada dalam kebudayaan tersebut, melainkan “berpikir melalui budaya tersebut.” Artinya, memikirkan persoalan yang ada dalam suatu kebudayaan tertentu bisa dilakukan melalui kerangka budaya lain, dan oleh karenannya pemikir itu tetap terkait dengan budaya yang terakhir.[viii]

Untuk memperjelas urainnya yang sofisticated tersebut, al-Jabiri memberikan contoh tentang al-Farabi yang memikirkan persoalan-persoalan yang ada dalam dalam budaya Yunani dan kalangan orientalis yang berpikir tentang masalah budaya Arab. Dalam pandangan al-Jabiri, al-Farabi adalah seorang Arab karena dalam memikirkan masalah-masalah budaya Yunani tersebut dilakukan melalui budaya Arab. Sebaliknya, kalangan orientalis tetaplah bukan pemikir Arab meskipun memikirkan masalah-masalah ke-Araban. Sebab, para orientaslis itu memikirkan masalah-masalah kebudayaan Arab melalui budaya non-Arab.[ix]

Apa sebenarnya yang dimaksud al-Jabiri dengan “berpikir melalui suatu budaya tertentu”? Kata al-Jabiri, itu artinya adalah berpikir melalui sistem referensial yang membentuk koordinat-koordinat dasarnya, yakni faktor-faktor penentu dan pembentuk kebudayaan ini, terutama berupa warisan kultural, lingkungan sosial, cara pandang terhadap masa depan, bahkan pandangannya terhadap alam, dunia dan manusia. Karenanya, manusia suka atau tidak suka akan selalu membawa sejarahnya, sama halnya dengan pemikiran yang selalu membawa serta kekhasan unsur-unsur pembentuknya serta realitas kultural yang di dalam dan melaluinya pemikiran itu terbentuk.[x]

Berdasarkan argumen tersebut, al-Jabiri kemudian menjelaskan konsep nalar Arab yang dimaksudkannya sebagai seperangkat aturan atau prinsip yang menghasilkan produk-produk teoritis yang dibentuk oleh suatu kebudayaan yang khas, yakni kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab, mencerminkan realitas dan ambisi-ambisi masa depan serta mencerminkan dan mengekspresikan rintangan yang menghambat kemajuan dan sebab-sebab kemundurannya saat ini.[xi]

Setelah memberikan uraian tentang apa itu nalar Arab, al-Jabiri kemudian menjelaskan tujuan yang ingin dicapai melalui proyek “kritik nalar Arab”-nya. Menurut al-Jabiri, kritik nalar Arab bertujuan untuk membongkar kaidah-kaidah dan asas-asas yang menentukan cara berpikir dalam kebudayaan Arab dominan untuk kemudian mengembangkan dan memperkayanya dengan konsep-konsep dan wawasan-wawasan baru yang diperoleh dari berbagai tempat, baik dari pemikiran para pendahulu, pemikiran filosofis maupun pemikiran ilmiah. Intinya, kritik nalar Arab adalah upaya untuk mengganti nalar klasik yang begitu dominan dengan nalar baru, atau paling tidak dengan mengembangkan, memodernisasi atau memperbaharui nalar yang sudah ada sebelumnya.[xii]

Tentang perbedaan istilah antara konsep kritik nalar Arab yang dibuat al-Jabiri dengan konsep kritik nalar Islam miliknya, Arkoun memberikan pandangan sebagai berikut:

Dengan apakah konsep nalar Islam berbeda dari nalar Arab? Sesungguhnya nalar yang pertama (nalar Islam) terikat dengan wahyu atau anugerah yang diturunkan, dan ditetapkan bahwa anugerah itu tersebut adalah yang utama, karena ia bersifat ketuhanan, dan bahwa peran akal terbatas untuk melayani wahyu, yaitu memahami apa-apa yang tercatat padanya dari hukum-hukum, ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk. Kemudian menarik konklusi dan deduksi darinya. Maka, akal mengikuti dan bukannya yang dikuti, kecuali dengan tingkat yang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad yang benar dalam memahami wahyu. Nalar Islam tidak sendirian dalam kondisi keilmuan dan ontologi seperti ini, karena nalar Yahudi dan Kristen juga mengalaminya….

Adapun nalar Arab adalah nalar yang dinyatakan dalam bahasa Arab, apapun jenis produk pemikiran yang keluar darinya dan pemikiran yang terikat dengannya. Demikianlah, kita menemukan orang-orang Kristen dan Yahudi menghasilkan ilmu-ilmu keagamaan mereka dalam bahasa Arab, sebagaimana saat ini kita mengetahui beberapa penyair dan penulis yang telah “ter-Baratkan” menulis dalam bahasa Perancis. Sesungguhnya bahasa tidak terbatas pada suatu bangsa atau unsur dari unsur-unsur manusia, ia tentu saja terpengaruh oleh sejarah suatu bangsa atau kelompok atau umat yang berbicara dengan bahasa tersebut, akan tetapi interaksi antara dan bahasa lebih luas dan dalam serta lebih kuat, lebih banyak jumlah dan hasilnya dari hubungan-hubungan antara suatu bangsa dan bahasa tersebut secara khusus. Untuk itulah, saya lebih memilih menggunakan konsep nalar Islam daripada nalar Arab, dan sulit bagi saya untuk menerima apa yang diinginkan oleh Abid al-Jabiri untuk menjustifikasi pilihannya atas konsep nalar Arab, dan sebagaimana diketahui bahwa dalam penjelasannya dia tidak terbebas dari bias-bias psikologis dan rasial serta nasionalitas.[xiii]

Menurut Ahmad Basho, tidak sebagaimana Arkoun yang memperluas cakupan kritik nalar Islamnya hingga ke tradisi pemikiran non-bahasa Arab, al-Jabiri memang sangaja membatasi jangkauan kritiknya pada tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis dan kultur tertentu. Hal ini merupakan pilihan yang bersifat strategis. Sebab, misalnya, al-Jabiri tidak menguasai bahasa Persia. Selain itu, proyek kritik nalar Arab memang tidak dimaksudkan untuk membangun suatu teologi atau ilmu kalam baru, melainkan kritik epistemologi. Yakni, kritik yang ditujukan kepada kerangka dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan-babakan sejarah tertentu.[xiv]

Sementara menurut hemat penulis, distingsi antara konsep kebudayaan dengan peradaban sangat penting untuk memahami perbedaan konsep nalar yang dirumuskan al-Jabiri dengan Arkoun. Dalam satu paper yang kemudian menyulut polemik dan kontroversi, Samuel P. Huntington menyebutkan bahwa—dengan merujuk kepada A Study of History karya Arnold Toynbee, terdapat 21 peradaban besar yang pernah dimiliki manusia. Namun, kata Huntington, hanya antara enam atau tujuh saja dari jumlah itu yang masih ada hingga saat ini, yakni: peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks Slavia, Amerika Latin dan mungkin juga Afrika.[xv]

Terlepas dari pandangannya yang esensialistik terhadap peradaban serta kontroversi yang ditimbulkan dari tesis “Benturan Peradaban”-nya, pendefinisian istilah peradabaan sebagai pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakannya dari spesies lainnya. Peradaban ini dibatasi oleh unsur-unsur objektif: bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat, dan lembaga-lembaga; selain itu juga dibatasi oleh unsur-unsur subjektif: identifikasi orang-orang itu. Sementara itu, kebudayaan adalah unit identitas yang lebih kecil ketimbang peradaban.[xvi]

Dalam hal ini, kritik nalar Islam ala Arkoun dimaksudkan sebagai kritik atas epistemologi keagamaan sebagai basis bagi pembentukan peradaban Islam lintas kebudayaan. Adapun konsep kritik nalar Arab yang dibuat al-Jabiri ditujukan pada unit analisis yang lebih kecil, yakni unit peradaban Islam sejauh terkait dengan persenyawaannya dalam kebudayaan Arab. Bagi al-Jabiri sendiri, menurut hemat penulis, hubungan antara entitas Islam dengan Arab adalah seperti hubungan antara bentuk dengan materi dalam filsafat Aristoteles; kalau kebudayaan Arab adalah materinya, maka Islam adalah pemberi bentuknya. Atau dengan istilah lain, kebududayaan Arab adalah jasad, sementara Islam adalah spiritnya. Karenanya, al-Jabiri sendiri seringkali menyebut objek analisisnya sebagai nalar Arab-Islam, bukan Arab saja, atau Islam saja.[xvii]

 


 

[i] Lih. Hasan Hanafi, al-Turas wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1981). Lih. pula Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994) dan Naqd al-Khitab al-Dini (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992).

[ii] Tentang proyek Kritik yang diusung oleh Arkoun ini, bisa dilihat misalnya dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994). Adapun kritik epistemologis al-Jabiri tertuang dalam dua seri buku Naqd al-‘Aql al-Arabi berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1991) dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1996).

[iii] Lih. Al-Jabiri, Taqwin al-‘Aql al-‘Arabi, h. 11-12.

[iv] Lih. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. JMD Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990).

[v] Dalam pandangan Foucault, dalam setiap zaman, terdapat suatu apriori historis, regularitas, atau aturan-aturan yang menentukan proses pembentukan suatu praktik diskursif. Foucault menyebut semua itu dengan istilah “sistem pemikiran” atau “episteme.” Lih. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 314-315. Untuk melihat bagaimana penjelasan teoritik Foucault secara komprehensif tentang konsep episteme ini, Lih. The Archaeology of Knowledge and the Discourse on Languange, (New York: Pantheon Books, 1972).

[vi] Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, h. 15.

[vii] Ibid., h. 12.

[viii] Ibid., h. 13.

[ix] Ibid.

[x] Ibid.

[xi] Ibid., h. 13-14.

[xii] Ibid.

[xiii] Mohammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post-Modernisme, terj. Jauhari dkk., (Surabaya: al-Fikr, 1999), h. 21-22.

[xiv] Ahmad Basho, “Pengantar Penterjemah: Posmodernisme sebagai Kritik Islam, Kontribusi Metodologis ‘Kritik Nalar’ Muhammad Abid al-Jabiri” dalam Mohammad Abid al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, terj. & ed. Ahmad Basho, (Yogyakarta, LKIS, 2000), h. xxix.

[xv] Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 6.

[xvi] Ibid.

Tinggalkan komentar